Hari ini, edisinya aku buang sial (re: potong rambut). Kelar kerja sore-sore agak kehujanan, skuter kubelokkan kiri ke Cinta Salon. Ah, cinta benar aku sama salon ini. Si kapster kerjanya sat-set, selalu nurut permintaan rakyat, sudah hampir dua periode. Aku ingin rambutku pendek, lalu kuwarnai oranye. Obsesiku pada warna oranye sedang memuncak menuju klimaks.
Tahu kan, mataku butuh kacamata? Kalau kulepaskan, mukamu terlihat kurang jelas. Tapi khusus kegiatan sore ini, kacamata harus kulepas. Mukaku tak kelihatan jelas di cermin, memang itu yang kuharapkan. Sebenarnya, aku punya trauma potong rambut. Saat kecil, aku pernah dibawa sama bapak ke tukang cukur buat memangkas rambut, dan kejadian yang ditakutkan diriku kecil terjadi, gunting rambutnya menyerempet kupingku. Makanya, aku suka takut buat potong rambut, dan selama ini, kebanyakan aku memotong rambutku sendiri kalau sedang stress (re: pengen potong rambut). Biar ketakutanku agak mereda, kulepas kacamataku. Efek blur segera terpasang di cermin, dan gerak-gerik tangan si kapster di sekitar telingaku terlihat estetik. Rasa khawatirku berkurang, potong rambut nggak terasa sudah kelar.
Akhir-akhir ini nafsu makanku meningkat pesat. Tiap hari seperti nyidam saja. Kemarin aku nyidam mie ayam dan sushi. Hari ini, rasanya aku pengen makan bakmi jawa. Cabut dari Cinta Salon, aku menuju warung Bakmi Jawa Mbah Dharmo. Ini pertama kalinya aku selingkuh dari bakmi jawa langganan. Abis, terakhir kali aku apel di sana, aku harus nunggu sejam lebih, kan bete. Aku pengen segera memuaskan egoku. Sampai di tempat, bapak chef-nya yang berkacamata menyambutku dengan sumringah. Aku dikasih daftar menu dan kertas buat nulis pesanan. Kutulis dengan lancar dan sadar: bakmi jawa goreng, pedas pol, satu porsi, dibungkus. “Siap mbak,” kata bapak chef. Aku tunggu sambil memantau drama di X. Sepuluh menit lebih sedikit, saat drama lagi seru-serunya, bapak chef manggil aku. “Berani-beraninya,” respon campuranku akibat tersulut emosi drama dan kekurangan hormon ghrelin. Bye Mr. Ratulangi, akan kuusahakan lagi kau, besok pagi.
“Maaf pak, tadi saya pesan bakmi kuah atau goreng, ya?”
“Eh, kuah mbak bukannya?”
“Coba lihat kertas pesanannya pak, hehehe.” Si pelupa ini sangat merepotkan. Bapak chef berkacamata itu ngecek ulang. Dia lepas kacamatanya, bacain pesananku keras-keras.
“Oh bakmi goreng ya mbak. Maaf, maaf, tadi kurang jelas dan nggak fokus saya. Tunggu sebentar lagi nggak apa-apa ya, saya buatkan yang goreng.”
Aku manut saja sambil balik memantau drama di X tadi. Kali ini bapaknya ngebut, nggak ada lima menit bakmi jawaku sudah siap, jadi aku harus pulang.
Buat manusia dengan keterbatasan penglihatan ini, menembus sore dengan langit gelap, tetesan hujan, dan sisa kemacetan Cebongan City adalah sebuah tantangan. Untungnya skuterku paham, dia melaju pelan-pelan. For your information, kaca helmku sudah baret dan longgar. Jadi tiap aku naikkan, dalam sedetik dia turun lagi. Nyusahin memang. Tapi di saat hujan gini, kacamata harus kulepas dan kaca helm harus naik. Aku nggak mau ngajak gelud pengendara di depan, samping, dan belakangku. Aku kecil dan cemen. Dari warung bakmi tadi, kacamata sudah aku amankan di dashboard. Akhirnya, aku pulang dengan satu tangan nyetir, satu tangan mengondisikan kaca helm. Semua itu demi penglihatan yang lebih jelas.
Dalam rentang waktu yang sangat lama, aku selalu memakai alat bantu untuk meningkatkan fungsi mataku. Aku dan mungkin banyak orang, sudah nggak bisa lepas dari kacamata. Kacamata sangat membantuku melihat sudut-sudut jauh yang tidak terjangkau mataku tanpa si kaca. Pandangan-pandangan baru terhampar dan pintu-pintu terbuka di depanku. Namun, kebiasaan itu menutup mataku juga, ketika dalam waktu yang sama mataku jadi terbuka. Menutup kemungkinan-kemungkinan lain yang menguntungkan. Menutup cara pandang yang lebih cocok untuk hidupku. Menutup kesempatan emas, menutup tawaran bergengsi, menutup pengalaman baru lain yang hanya bisa kudapatkan ketika aku melepas kacamataku. Menutup jalan bantuan, menutup pintu menuju keadaan yang lebih baik, menutup hidupku sendiri dari eksposur positif di luar sana. Menutup kelegaan dan kebenaran. Sesekali, kita harus lepas kacamata. Kedua mata yang terbuka bukan berarti alat indra lain juga terbuka.
Yours, sæb
23 April 2024